Pendahuluan
Bank Indonesia merupakan bank sentral republic Indonesia. Sebagai
bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu merencanakan mencapai dan
memelihara kesetabilan nilai rupiah.
Kesetabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kesetabilan nilai mata
uang terhadap barang dan jasa, serta kesetabilan terhadap mata uang asing. Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung
oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tersebut
adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran,
serta mengatur dan mengawasi perbankan Indonesia. Ketiganya harus terintegrasi
agar mtercapainya tugas dan tujuan BI memelihara kesetabilan nilai rupiah dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Dalam hal ini peran Bank Indonesia sebagai bank sentral
mutlak dibutuhkan. Tercantum
dalam UU No. 3 tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga
barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut,
sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi
sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework)
dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan
nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan
untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk
melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti
uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,
pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen,
antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta
asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan
pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga dapat melakukan
cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Pembahasan
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG)
Bank Indonesia pada 8 Oktober 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada
level 7,25%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility
tetap pada level 7,25% dan 5,50%. Bank Indonesia akan mencermati
perkembangan perekonomian global dan nasional serta akan mengoptimalkan bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan bahwa tekanan inflasi
tetap terkendali, stabilitas nilai tukar Rupiah terjaga kondisi fundamentalnya,
serta defisit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang sustainable. Bank
Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah khususnya
dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan. Bank Indonesia
meyakini bahwa kebijakan-kebijakan tersebut serta berbagai kebijakan yang telah
ditempuh sebelumnya akan mempercepat penyesuaian defisit transaksi berjalan ke
tingkat yang lebih sehat dan mengendalikan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1%
pada 2014.
Bank Indonesia mencermati perekonomian
global cenderung melambat dan diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi. Kinerja perekonomian di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan Jepang belum kuat
meski mulai menunjukkan perbaikan. Sementara itu, perekonomian negara berkembang
dibayangi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi serta menurunnya kinerja
transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar. Pada saat yang sama, penurunan
harga komoditas masih terus terjadi, kecuali harga minyak. Di pasar keuangan,
sejumlah risiko terkait dengan penundaan kebijakan pengurangan stimulus The Fed
(tapering), perdebatan debt ceiling dan penghentian sementara layanan
pemerintah AS (government shutdown). Secara keseluruhan, melalui jalur
perdagangan perkembangan perekonomian global tersebut memberikan tekanan pada
kinerja ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara itu,
melalui jalur keuangan perkembangan tersebut dalam jangka sangat pendek
mendorong masuknya aliran dana nonresiden ke bursa saham dan obligasi kawasan
serta menguatnya mata uang Asia.
Sejalan dengan pelemahan ekonomi
global yang masih berlanjut, kinerja perekonomian domestik menunjukkan
kecenderungan yang melambat. Kinerja ekonomi global yang masih melambat dan
pergerakan harga komoditas yang masih cenderung menurun, mendorong masih
terbatasnya kinerja ekspor. Konsumsi rumah tangga dan investasi diprakirakan
masih tertekan sebagai dampak dari menurunnya daya beli akibat tingginya
tekanan harga pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Kinerja perekonomian
nasional diprakirakan akan membaik pada tahun 2014, sejalan dengan perekonomian
global dan harga komoditas yang diprakirakan membaik. Secara keseluruhan,
perekonomian Indonesia diprakirakan tumbuh lebih tinggi mencapai 5,8% - 6,2%.
Dari sisi eksternal, kinerja
Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan III-2013 diprakirakan akan membaik. Defisit
transaksi berjalan akan menyempit terutama dengan menurunnya impor seiring
dengan melemahnya permintaan domestik dan dampak pelemahan nilai tukar Rupiah.
Di sisi lain, surplus Transaksi Modal dan Finansial (TMF) akan lebih besar,
seiring kembali masuknya investor asing pada SBI dan SUN serta berkurangnya net
jual asing atas saham domestik sebagai respon kebijakan Bank Indonesia dan
Pemerintah serta penundaan tapering off di AS. Dengan perkembangan tersebut,
cadangan devisa pada akhir September 2013 diprakirakan menjadi 95,7 miliar
dolar AS, meningkat dari posisi akhir Agustus 2013 sebesar 93,0 miliar dolar
AS. Cadangan devisa pada akhir September tersebut setara dengan 5,2 bulan impor
dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar rupiah pada triwulan
III 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai fundamentalnya.Secara rata-rata, rupiah melemah
8,18% (qtq) ke level Rp 10.652 per dolar AS atau secara point to point rupiah
terdepresiasi 14,29% (qtq) ke level Rp 11.580 per dolar AS. Seperti halnya
pelemahan mata uang negara-negara di kawasan Asia, depresiasi nilai tukar
rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan nonresiden di aset keuangan
domestik dipicu sentimen terkait pengurangan (tapering off) stimulus moneter
oleh the Fed. Dari sisi fundamental, tekanan depresiasi rupiah lebih besar dengan
relatif tingginya defisit transaksi berjalan di Indonesia. Pada akhir triwulan
III 2013 tekanan rupiah berkurang sejalan dengan membaiknya kinerja inflasi dan
neraca perdagangan serta sentimen positif penundaan tapering off oleh the Fed.
Keyakinan pasar valas semakin pulih dengan permintaan dan penawaran yang
semakin aktif dan berimbang dalam membentuk nilai tukar rupiah di pasar. Bank
Indonesia memandang bahwa perkembangan nilai tukar pada saat ini menggambarkan
kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Tekanan inflasi mereda dan
mencatat deflasi 0,35% (mtm) atau 8,40% (yoy) pada September 2013. Pasokan yang
melimpah beberapa komoditas hortikultura, terutama bawang merah dan cabai,
menyebabkan koreksi harga pangan tercatat cukup dalam. Selain itu, mulai
turunnya harga daging sapi juga mendorong deflasi lebih lanjut sehingga
kelompok volatile food mencatat deflasi 3,38% (mtm) atau inflasi 13,94% (yoy).
Meredanya tekanan inflasi bulanan juga terjadi pada kelompok inti dan
administered prices, masing-masing mencapai 0,57% (mtm) atau 4,72% (yoy) dan
0,34% (mtm) atau 15,47% (yoy), seiring meredanya dampak kenaikan harga BBM dan
koreksi harga paska Lebaran. Terkendalinya harga-harga tersebut sejalan dengan
perkiraan Bank Indonesia bahwa inflasi akan sangat rendah dan kembali ke pola
normal mulai September dan bulan-bulan ke depan. Prospek tekanan inflasi yang
menurun juga dipengaruhi dampak perlambatan permintaan domestik serta
langkah-langkah penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah
dalam pengendalian inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi 2013
diprakirakan berada pada kisaran 9,0% - 9,8%, dan kemudian menurun pada kisaran
sasaran 4,5±1% pada tahun 2014.
Stabilitas sistem keuangan tetap
terjaga dengan dukungan ketahanan industri perbankan yang tetap solid di tengah
berbagai tekanan.
Rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) tetap tinggi mencapai
17,89%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah
(NPL/Non Performing Loan) tetap terjaga rendah sebesar 1,99% pada bulan Agustus
2013. Hasil stress testing baik dari sisi likuiditas, kredit maupun permodalan
juga menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai
risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar
Rupiah. Sementara itu, pertumbuhan kredit mulai menunjukkan perlambatan, meski
pada Agustus 2013 masih cukup tinggi sebesar 22,2% (yoy). Pertumbuhan kredit
terutama karena penarikan kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh
perhitungan nilai tukar, sementara komitmen kredit baru terus menurun.
Kesimpulan
Pada hal ini Bank Indonesia sudah
melakukan tugasnya sebagai pengendali kesetabilan nilai mata uang rupiah. Dengan
memberikan kebijakan- kebijakan guna memperbaiki krisis yang terjadi. Walaupun nilai
tukar rupiah pada triwulan III 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai
fundamentalnya.Secara
rata-rata, rupiah melemah 8,18% (qtq) ke level Rp 10.652 per dolar AS. Pada
akhir triwulan III 2013 tekanan rupiah berkurang sejalan dengan membaiknya
kinerja inflasi dan neraca perdagangan serta sentimen positif penundaan
tapering off oleh the Fed. Keyakinan pasar valas semakin pulih dengan
permintaan dan penawaran yang semakin aktif dan berimbang dalam membentuk nilai
tukar rupiah di pasar. Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dengan dukungan ketahanan
industri perbankan yang tetap solid di tengah berbagai tekanan
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar