Kamis, 14 November 2013

Kebijakan moneter Bank Indonesia

Pendahuluan
Bank Indonesia merupakan bank sentral republic Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu merencanakan mencapai dan memelihara kesetabilan nilai rupiah. Kesetabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kesetabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kesetabilan terhadap mata uang asing.  Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tersebut adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan Indonesia. Ketiganya harus terintegrasi agar mtercapainya tugas dan tujuan BI memelihara kesetabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam hal ini peran Bank Indonesia sebagai bank sentral mutlak dibutuhkan. Tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang  ditetapkan oleh Pemerintah.  Secara operasional, pengendalian  sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.  Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.

Pembahasan
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 8 Oktober 2013 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 7,25%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility tetap pada level 7,25% dan 5,50%. Bank Indonesia akan mencermati perkembangan perekonomian global dan nasional serta akan mengoptimalkan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial untuk memastikan bahwa tekanan inflasi tetap terkendali, stabilitas nilai tukar Rupiah terjaga kondisi fundamentalnya, serta defisit transaksi berjalan menurun ke tingkat yang sustainable. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah khususnya dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan. Bank Indonesia meyakini bahwa kebijakan-kebijakan tersebut serta berbagai kebijakan yang telah ditempuh sebelumnya akan mempercepat penyesuaian defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dan mengendalikan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014.
Bank Indonesia mencermati perekonomian global cenderung melambat dan diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi. Kinerja perekonomian di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan Jepang belum kuat meski mulai menunjukkan perbaikan. Sementara itu, perekonomian negara berkembang dibayangi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi serta menurunnya kinerja transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar. Pada saat yang sama, penurunan harga komoditas masih terus terjadi, kecuali harga minyak. Di pasar keuangan, sejumlah risiko terkait dengan penundaan kebijakan pengurangan stimulus The Fed (tapering), perdebatan debt ceiling dan penghentian sementara layanan pemerintah AS (government shutdown). Secara keseluruhan, melalui jalur perdagangan perkembangan perekonomian global tersebut memberikan tekanan pada kinerja ekspor negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara itu, melalui jalur keuangan perkembangan tersebut dalam jangka sangat pendek mendorong masuknya aliran dana nonresiden ke bursa saham dan obligasi kawasan serta menguatnya mata uang Asia.
Sejalan dengan pelemahan ekonomi global yang masih berlanjut, kinerja perekonomian domestik menunjukkan kecenderungan yang melambat. Kinerja ekonomi global yang masih melambat dan pergerakan harga komoditas yang masih cenderung menurun, mendorong masih terbatasnya kinerja ekspor. Konsumsi rumah tangga dan investasi diprakirakan masih tertekan sebagai dampak dari menurunnya daya beli akibat tingginya tekanan harga pasca kenaikan harga BBM bersubsidi. Kinerja perekonomian nasional diprakirakan akan membaik pada tahun 2014, sejalan dengan perekonomian global dan harga komoditas yang diprakirakan membaik. Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia diprakirakan tumbuh lebih tinggi mencapai 5,8% - 6,2%.
Dari sisi eksternal, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan III-2013 diprakirakan akan membaik. Defisit transaksi berjalan akan menyempit terutama dengan menurunnya impor seiring dengan melemahnya permintaan domestik dan dampak pelemahan nilai tukar Rupiah. Di sisi lain, surplus Transaksi Modal dan Finansial (TMF) akan lebih besar, seiring kembali masuknya investor asing pada SBI dan SUN serta berkurangnya net jual asing atas saham domestik sebagai respon kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah serta penundaan tapering off di AS. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir September 2013 diprakirakan menjadi 95,7 miliar dolar AS, meningkat dari posisi akhir Agustus 2013 sebesar 93,0 miliar dolar AS. Cadangan devisa pada akhir September tersebut setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar rupiah pada triwulan III 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai fundamentalnya.Secara rata-rata, rupiah melemah 8,18% (qtq) ke level Rp 10.652 per dolar AS atau secara point to point rupiah terdepresiasi 14,29% (qtq) ke level Rp 11.580 per dolar AS. Seperti halnya pelemahan mata uang negara-negara di kawasan Asia, depresiasi nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi penyesuaian kepemilikan nonresiden di aset keuangan domestik dipicu sentimen terkait pengurangan (tapering off) stimulus moneter oleh the Fed. Dari sisi fundamental, tekanan depresiasi rupiah lebih besar dengan relatif tingginya defisit transaksi berjalan di Indonesia. Pada akhir triwulan III 2013 tekanan rupiah berkurang sejalan dengan membaiknya kinerja inflasi dan neraca perdagangan serta sentimen positif penundaan tapering off oleh the Fed. Keyakinan pasar valas semakin pulih dengan permintaan dan penawaran yang semakin aktif dan berimbang dalam membentuk nilai tukar rupiah di pasar. Bank Indonesia memandang bahwa perkembangan nilai tukar pada saat ini menggambarkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
Tekanan inflasi mereda dan mencatat deflasi 0,35% (mtm) atau 8,40% (yoy) pada September 2013. Pasokan yang melimpah beberapa komoditas hortikultura, terutama bawang merah dan cabai, menyebabkan koreksi harga pangan tercatat cukup dalam. Selain itu, mulai turunnya harga daging sapi juga mendorong deflasi lebih lanjut sehingga kelompok volatile food mencatat deflasi 3,38% (mtm) atau inflasi 13,94% (yoy). Meredanya tekanan inflasi bulanan juga terjadi pada kelompok inti dan administered prices, masing-masing mencapai 0,57% (mtm) atau 4,72% (yoy) dan 0,34% (mtm) atau 15,47% (yoy), seiring meredanya dampak kenaikan harga BBM dan koreksi harga paska Lebaran. Terkendalinya harga-harga tersebut sejalan dengan perkiraan Bank Indonesia bahwa inflasi akan sangat rendah dan kembali ke pola normal mulai September dan bulan-bulan ke depan. Prospek tekanan inflasi yang menurun juga dipengaruhi dampak perlambatan permintaan domestik serta langkah-langkah penguatan koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam pengendalian inflasi. Dengan perkembangan tersebut, inflasi 2013 diprakirakan berada pada kisaran 9,0% - 9,8%, dan kemudian menurun pada kisaran sasaran 4,5±1% pada tahun 2014.
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dengan dukungan ketahanan industri perbankan yang tetap solid di tengah berbagai tekanan. Rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) tetap tinggi mencapai 17,89%, jauh di atas ketentuan minimum 8%, sedangkan rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) tetap terjaga rendah sebesar 1,99% pada bulan Agustus 2013. Hasil stress testing baik dari sisi likuiditas, kredit maupun permodalan juga menunjukkan ketahanan industri perbankan yang kuat terhadap berbagai risiko seperti perlambatan ekonomi, kenaikan suku bunga dan depresiasi nilai tukar Rupiah. Sementara itu, pertumbuhan kredit mulai menunjukkan perlambatan, meski pada Agustus 2013 masih cukup tinggi sebesar 22,2% (yoy). Pertumbuhan kredit terutama karena penarikan kredit dari komitmen sebelumnya, disamping pengaruh perhitungan nilai tukar, sementara komitmen kredit baru terus menurun.
Kesimpulan
Pada hal ini Bank Indonesia sudah melakukan tugasnya sebagai pengendali kesetabilan nilai mata uang rupiah. Dengan memberikan kebijakan- kebijakan guna memperbaiki krisis yang terjadi. Walaupun nilai tukar rupiah pada triwulan III 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai fundamentalnya.Secara rata-rata, rupiah melemah 8,18% (qtq) ke level Rp 10.652 per dolar AS. Pada akhir triwulan III 2013 tekanan rupiah berkurang sejalan dengan membaiknya kinerja inflasi dan neraca perdagangan serta sentimen positif penundaan tapering off oleh the Fed. Keyakinan pasar valas semakin pulih dengan permintaan dan penawaran yang semakin aktif dan berimbang dalam membentuk nilai tukar rupiah di pasar. Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga dengan dukungan ketahanan industri perbankan yang tetap solid di tengah berbagai tekanan

Sumber :
1.      www.bi.go.id
2.      www.wikipedia.org





Tidak ada komentar:

Posting Komentar